Beranda | Artikel
Menjual Tanah Waqaf
Jumat, 18 Agustus 2006

MENJUAL TANAH WAQAF?

Pertanyaan.
Ada sebuah masjid di tepi jalan. Masjid itu sudah tua dan tidak cukup lagi menampung jama’ah shalat. Ada orang mewaqafkan tanah di seberang jalan. Kami perlu untuk meluaskan masjid tersebut, tetapi lokasi sudah habis. Bolehkah menjual tanah waqaf di seberang jalan itu, lalu uangnya dibelikan tanah di samping masjid untuk perluasan? Tokoh-tokoh agama di daerah kami menyatakan bahwa “tanah waqaf itu tidak boleh dijual”. Oleh karena itu, tanah waqaf di seberang jalan tersebut dibiarkan begitu saja, tidak dimanfaatkan. Hal ini sudah berlangsung lama. Kami minta penjelasan mengenai hal ini jazakumulloh khoiro.
Abdullah, Masaran, Sragen, Jawa Tengah.

Jawaban.
Alhamdulillah, wash-shalatu was salaamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’d,
Waqaf berasal dari kata “waqf”. Secara bahasa Arab, artinya menahan. Adapun ta’rif (definisi) waqaf secara syari’at, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata: “Waqaf adalah menahan pokok/asal (harta), sehingga tidak diwariskan, tidak dijual, dan tidak dihibahkan, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang yang diberi waqaf”.[1]

Sedangkan menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, ta’rif waqaf secara syari’at adalah, pemilik harta menahan hartanya yang diambil manfaatnya, bersamaan tetapnya dzat harta itu dari usaha-usaha dengan barangnya, dan manfaatnya diberikan pada sesuatu yang termasuk jenis-jenis ketaatan untuk mencari wajah Allah.[2]

Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa pada asalnya, waqaf tidak boleh dijual. Karena, jika dijual dan barang waqafnya sudah tidak ada wujudnya, maka bukan lagi waqaf (menahan pokok/asal harta). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

Dari Ibnu Umar bahwa Umar binAl Khaththab mendapatkan tanah di kota Khaibar. Lalu dia mendatangi Nabi (untuk) meminta petunjuk kepada Beliau tentang tanah tersebut. Dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan tanah di kota Khaibar. Aku tidak pernah mendapatkan harta sama sekali yang lebih berharga padaku darinya. Maka apakah yang Anda perintahkan tentang tanah itu?” Beliau bersabda,”Jika engkau mau, engkau menahan pokoknya, dan engkau bershadaqah dengan (hasil)nya.” Maka Umar(pun) bershadaqah dengan (hasil)nya, dengan syarat bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Umar bershadaqah dengan (hasil) tanah itu untuk orang-orang miskin, karib kerabat, budak-budak, fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak mengapa orang yang mengurusnya (mengelolanya) memakan darinya dengan baik, juga (tidak mengapa) dia memberi makan (darinya) dengan tidak menyimpan harta. [HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Darimi].

Kemudian bagaimana jika tanah waqaf terbengkelai dan perlu untuk dijual dan dibelikan tanah yang lain untuk dijadikan sebagai waqaf dan dimanfaatkan? Apakah hal itu boleh? Di sini terdapat dua pendapat.

Pendapat Pertama : Tidak Boleh Dijual.
Ini disebutkan sebagai pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i.[3] Imam Malik rahimahullah berkata,”Barang waqaf tidak boleh dijual, walaupun telah roboh. Tetapnya barang-barang waqaf milik Salaf yang roboh, merupakan dalil terlarangnya hal itu (menjual barang waqf walaupun telah roboh).”[4] Tetapi, Imam Malik rahimahullah juga berpendapat, jika imam (penguasa) berpendapat (bahwa) penjualan itu lebih mashlahat, (maka) hal itu boleh dan imam menjadikannya pada yang semisalnya.[5]

Adapun Asy Syafi’iyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat, jika seseorang mewaqafkan masjid, lalu tempat itu roboh dan terhenti shalat di sana, (maka) barang waqf tersebut tidak dikembalikan kepada pemilik dan tidak dirobah (tidak diganti). [6]

Pendapat Kedua : Waqaf tidak boleh dijual dan tidak boleh ditukar, kecuali jika manfaat-manfaat waqaf terbengkelai, maka boleh dijual dan boleh ditukar dengan lainnya.

Demikian ini pendapat Imam Ahmad.[7]

Berkenaan dengan pendapat kedua ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa mengganti sesuatu yang dinadzarkan, dan sesuatu yang diwaqafkan dengan sesuatu yang lebih baik darinya, sebagaimana mengganti hewan qurban, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

  1. Mengganti karena kebutuhan. Seperti (waqaf) terbengkelai, lalu dijual, dan dengan uangnya dibelikan penggantinya. Ini semua boleh, karena (yang menjadi) pokoknya, jika sesuatu yang dimaksudkan itu tidak terjadi, maka gantinya (berlaku sebagai) menggantikannya.
  2. Mengganti untuk mashlahat yang lebih besar (kuat). Seperti mengganti hewan qurban yang lebih baik darinya. Atau ada sebuah masjid lalu dibangun masjid lain yang lebih mashlahat bagi penduduk suatu daerah daripada masjid pertama, dan masjid yang pertama dijual. Menurut (imam) Ahmad dan ulama lainnya, yang seperti itu dan semacamnya dibolehkan. Imam Ahmad berhujjah dengan (perbuatan) Umar yang memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat yang lain. Dan lokasi masjid yang pertama menjadi pasar bagi para pedagang kurma. Maka (tindakan seperti) ini, (berarti) mengganti lokasi masjid. Lihat Majmu’ Fatawa (31/252).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: “Bersamaan (Sesuai) dengan kebutuhan, wajib mengganti waqaf dengan yang semisalnya. Dan tanpa adanya kebutuhan, boleh (mengganti waqaf) dengan yang lebih baik darinya karena nampak mashlahatnya”. [8]

Seorang tokoh ulama Hanafiyah, yang bernama Ibnu ‘Abidin berkata: Ketahuilah, bahwa mengganti waqaf itu ada tiga bentuk.

  1. Pemberi waqaf mensyaratkannya (yakni boleh mengganti waqaf) pada dirinya sendiri, atau pada orang lain, atau pada dirinya sendiri dan pada orang lain. Berdasarkan (pendapat) yang benar, maka mengganti waqaf pada bentuk ini dibolehkan. Ada yang mengatakan, (demikian) ini disepakati bolehnya.
  2. Pemberi waqaf tidak mensyaratkannya, yaitu dia tidak mensyaratkan mengganti waqaf atau dia diam. Akan tetapi waqaf itu menjadi (harta) yang tidak dimanfaatkan sama sekali, yaitu tidak menghasilkan (manfaat) sama sekali, dan tidak mencukupi biaya (pengelolaannya, jika dikelola, Red), maka menurut pendapat yang lebih benar, hal itu juga boleh (digantikan) jika diizinkan oleh hakim (syari’at) dan memandang adanya manfaat padanya.
  3. Pemberi waqf tidak mensyaratkannya juga. Dan secara umum waqaf tersebut ada manfaatnya, tetapi gantinya lebih baik (dari segi) tambahannya dan manfaatnya. Menurut pendapat yang benar dan terpilih (dalam madzhab Hanafiyah, Red), demikian ini tidak dibolehkan menggantinya. [9]

Kembali kepada soal yang ditanyakan, maka permasalahan ini masuk pada point kedua, yang hukumnya boleh mengganti waqaf. Yakni boleh menjualnya dan menggantikannya dengan tanah lainnya yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan pada masalah ketiga -yang menurut Ibnu Abidin menyatakan tidak bolehnya- maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t membolehkannya, sebagaimana telah berlalu nukilan dari perkataan beliau.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menyatakan, jika barang yang diwaqafkan berkurang atau manfaat-manfaatnya menjadi sedikit, sedangkan yang selainnya lebih baik dan lebih bermanfaat bagi orang-orang yang menerima waqaf, maka dalam perkara ini terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad. (Yaitu), dari kalangan yang bermadzhab (Hanbali, Red) adalah terlarang (menukar, Red), dan riwayat yang lainnya membolehkan. Demikian inilah pilihan Syaikhul Islam. [10]

Begitu pula pendapat Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, ketika menjelaskan hukum-hukum waqaf, pada point ketiga dan kempat, beliau menyatakan. Ketiga : Waqf menjadi wajib dengan semata-mata pengumumannya. Atau diberikan (kepada penerima waqaf), atau diserahkan kepada orang yang diberi waqaf. Sehingga setelah itu tidak boleh dibatalkan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dihibahkan. Keempat : Jika manfaat-manfaat waqaf terbengkelai karena peperangan, maka sebagian ulama membolehkan menjualnya. Uangnya dipergunakan untuk yang semisalnya. Dan jika (masih) berlebih, diserahkan kepada masjid atau dishodaqohkan kepada orang-orang fakir dan miskin.[11]

Untuk memberikan penjelasan pada pendapat yang kedua, yaitu bolehnya mengganti waqaf jika dibutuhkan, atau demi kemaslahatan yang lebih besar, berikut kami bawakan dalil-dalil yang mendukung pendapat tersebut. Diantaranya sebagai berikut:

1. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتْ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ وَلَجَعَلْتُ لَهَا خَلْفًا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Seandainya kaum-mu tidak baru saja meninggalkan masa kekafiran, sesungguhnya aku pasti merobohkan Ka’bah dan aku pasti membangunnya di atas fondasi Ibrahim, karena sesungguhnya suku Quraisy kurang ketika mereka membangun (memperbaiki) Ka’bah. Dan sesungguhnya aku pasti membuat pintu belakang untuk Ka’bah”. [HR Bukhari, no. 126; Muslim, no. 1.333. Dan ini lafazh bagi Imam Muslim]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa Ka’bah merupakan waqaf yang paling utama di muka bumi. Seandainya merubah dan menggantinya dengan apa yang dijelaskan oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (seperti dalam hadits di atas) itu wajib, (tentu) Beliau tidak akan meninggalkannya. Sehingga dapat diketahui, bahwa hal itu dibolehkan dan lebih mashlahat, seandainya bukan karena apa yang telah beliau sebutkan, yaitu suku Quraisy baru saja masuk Islam. Demikianlah, dalam hadits ini (bolehnya) mengganti bangunan Ka’bah dengan bangunan yang lain. Dengan demikian diketahui bahwa secara umum, demikian ini dibolehkan. Mengganti susunan (bangunan) dengan susunan yang lain adalah termasuk salah satu jenis mengganti”. Lihat Majmu’ Fatawa (31/244).

2. Abdullah bin Umar berkata:

أَنَّ الْمَسْجِدَ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَبْنِيًّا بِاللَّبِنِ وَسَقْفُهُ الْجَرِيدُ وَعُمُدُهُ خَشَبُ النَّخْلِ فَلَمْ يَزِدْ فِيهِ أَبُو بَكْرٍ شَيْئًا وَزَادَ فِيهِ عُمَرُ وَبَنَاهُ عَلَى بُنْيَانِهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّبِنِ وَالْجَرِيدِ وَأَعَادَ عُمُدَهُ خَشَبًا ثُمَّ غَيَّرَهُ عُثْمَانُ فَزَادَ فِيهِ زِيَادَةً كَثِيرَةً وَبَنَى جِدَارَهُ بِالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ وَالْقَصَّةِ وَجَعَلَ عُمُدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ وَسَقَفَهُ بِالسَّاجِ

Sesungguhnya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, masjid (Nabawi) dibangun dengan batu bata, atapnya adalah pelepah (dahan kurma), tiang-tiangnya batang pohon kurma. Abu Bakar tidak manambah padanya sedikitpun. Umar menambahkan pada (luas)nya, dan membangunnya seperti bangunannya di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan batu bata dan pelepah (dahan kurma), dan mengembalikan tiang-tiangnya dengan batang kayu. Kemudian Utsman merubahnya dan manambah padanya dengan banyak tambahan. Beliau membangun temboknya dengan batu yang diukir dan kapur (semen), menjadikan tiang-tiangnya dengan batu yang diukir, dan atapnya dengan saaj (jenis kayu yang baik). [HR Bukhari, no. 446].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Intinya, batu bata dan batang kayu yang dulunya merupakan waqaf diganti dengan lainnya oleh Khulafaur Rasyidun. Dan ini termasuk permasalahan yang paling besar, tetapi tidak ada orang yang mengingkarinya. Dan tidak ada perbedaan antara mengganti bangunan dengan bangunan, dengan mengganti lokasi tanah kosong dengan lokasi tanah kosong yang lain, jika mashlahat menuntut hal itu. Oleh karena itulah Umar bin Al Khaththab mengganti Masjid Kufah dengan masjid lainnya dan mengganti lokasinya. Dan lokasi yang pertama menjadi pasar bagi para pedagang kurma. Lokasi itu menjadi pasar, setelah sebelumnya menjadi masjid. Ini merupakan (dalil) yang paling kuat tentang (bolehnya) mengganti waqaf demi kemashlahatan”. [Lihat Majmu’ Fatawa (31/244-245)].

3. Perbuatan Khalifah Umar bin Al Khaththab yang mengganti lokasi Masjid Kufah ke tempat lain, dan bekas masjid pertama itu untuk pasar pedagang kurma.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun mengganti lokasi dengan lokasi yang lain, maka ini telah dinyatakan oleh (Imam) Ahmad dan lainnya tentang bolehnya, karena mengikuti para sahabat Rasulullah n . Hal itu telah dilakukan oleh Umar. Permasalahan itu telah dikenal luas dan tidak diingkari”. [Lihat Majmu’ Fatawa (31/253)]

Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata: “Namun diantara sahabat-sahabat Imam Ahmad ada yang melarang mengganti masjid, hewan qurban, dan tanah waqaf. Dan seperti itu merupakan pendapat (Imam) Syafi’i dan lainnya. Akan tetapi, nash-nash (hadits), riwayat-riwayat (sahabat), dan qiyas menetapkan dibolehkannya mengganti (masjid, hewan qurban, dan tanah waqaf) untuk mashlahat. Wallahu k a’lam”. [Lihat Majmu’ Fatawa (31/253)].

4. Qiyas terhadap nadzar. Bahwa mengganti nadzar dengan yang lebih baik hukumnya boleh. Sehingga mengganti waqaf dengan yang lebih baik hukumnya juga boleh.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ قَالَ صَلِّ هَاهُنَا ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ صَلِّ هَاهُنَا ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ شَأْنُكَ إِذَنْ  فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ لَوْ صَلَّيْتَ هَاهُنَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ صَلَاةً فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki berdiri pada hari Fathul Makkah lalu berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku telah bernadzar karena Allah. Jika Allah memenangkan Makkah atasmu, aku akan shalat dua raka’at di Baitul Maqdis”. Beliau bersabda,”Shalatlah di sini,” lalu lelaki itu mengulanginya kepada Beliau, maka Beliau bersabda,”Shalatlah di sini,” lalu lelaki itu mengulanginya kepada Beliau, maka Beliau bersabda,”Kalau begitu, terserah padamu.” [HR Abu Dawud, no. 3.305, Ahmad, dan Darimi].

Setelah membawakan beberapa hadits dan perkataan ulama tentang bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Berdasarkan ini, jika seseorang bernadzar bahwa dia akan mewaqafkan sesuatu, lalu dia mewaqafkan (sesuatu) yang lebih baik darinya, hal itu lebih baik. Jika seseorang bernadzar bahwa dia akan membangun sebuah masjid karena Allah, yang dia sebutkan sifatnya, atau dia akan mewaqafkan sebuah waqaf yang dia sebutkan sifatnya, lalu dia membangun masjid yang lebih baik dari itu, dan mewaqafkan waqaf yang lebih baik dari itu, hal itu lebih baik”. Lihat Majmu’ Fatawa (31/249).

5. Membiarkan tanah waqaf tanpa dimanfaatkan termasuk menyia-nyiakan harta, menyia-nyiakan tujuan waqaf. Maka lebih baik mengantikannya dengan yang lebih bermanfaat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Sesungguhnya Allah membenci terhadap kamu (dalam) tiga perkara. (Yaitu) banyak bicara, menyia-nyiakan harta, dan banyak soal (bertanya masalah yang tidak perlu; meminta harta orang lain). [HR Bukhari-Muslim, dari Mughirah bin Syu’bah]

Ibnu ‘Aqil mengatakan: “Waqaf adalah untuk selamanya. Namun ketika tidak memungkinkan mengekalkannya pada bentuk pengkhususannya (yaitu pada bentuk aslinya, Red), maka kita kekalkan tujuan waqaf, yaitu mengambil manfaatnya terus-menerus pada barang lainnya. Dan sampainya penggantian sebagaimana sampainya barang-barang (waqaf). Adapun kejumudan kita pada barang waqaf dengan tanpa pemanfaatan, merupakan perbuatan menyia-nyiakan tujuan (waqaf)”. [12]

Setelah kita mengetahui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat, adalah yang membolehkan mengganti waqaf dengan yang lebih baik, karena demi kepentingan atau karena mashlahat yang lebih besar.
Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1]. Minhajul Muslim, hlm. 419
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram (4/250)
[3]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram (4/257)
[4]. Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah (2/924), karya Dr. Ahmad Mufawi
[5]. Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah (2/924), karya Dr. Ahmad Mufawi.
[6]. Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah (2/924), karya Dr. Ahmad Mufawi
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram (4/257)
[8]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram (4/258)
[9]. Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/923, karya Dr. Ahmad Mufawi.
[10]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, (4/258)
[11]. Minhajul Muslim, hlm. 419.
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, 4/258.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1919-menjual-tanah-waqaf.html